HAK-HAK ISTRI MENURUT AL QUR'AN DAN HADITS
Rabu, 29 Mei 2013
0
komentar
Ketika jenjang pernikahan sudah dilewati, maka suami
dan isteri haruslah saling memahami kewajiban-kewajiban dan hak-haknya agar
tercapai keseimbangan dan keserasian dalam membina rumah tangga yang harmonis.
Di antara kewajiban-kewajiban dan hak-hak tersebut adalah seperti yang tersurat dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Shahabat Mu’awiyah bin Haidah bin Mu’awiyah al-Qusyairi radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, apa hak seorang isteri yang harus dipenuhi oleh suaminya?” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
- Engkau memberinya makan apabila engkau makan,
- Engkau memberinya pakaian apabila engkau ber-pakaian,
- Janganlah engkau memukul wajahnya,
- Janganlah engkau menjelek-jelekkannya, dan
- Janganlah engkau meninggalkannya melainkan di dalam rumah (yakni jangan berpisah tempat tidur melainkan di dalam rumah).”
1. ENGKAU MEMBERINYA
MAKAN APABILA ENGKAU MAKAN
Memberi makan merupakan istilah lain dari memberi nafkah. Memberi nafkah ini telah diwajibkan ketika sang suami akan melaksanakan ‘aqad nikah, yaitu dalam bentuk mahar, seperti yang tersurat dalam firman Allah: "Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” (Al-Baqarah : 233)
Memberi makan merupakan istilah lain dari memberi nafkah. Memberi nafkah ini telah diwajibkan ketika sang suami akan melaksanakan ‘aqad nikah, yaitu dalam bentuk mahar, seperti yang tersurat dalam firman Allah: "Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” (Al-Baqarah : 233)
Bahkan ketika terjadi perceraian, suami masih berkewajiban memberikan
nafkah kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddahnya dan nafkah untuk
mengurus anak-anaknya. Barangsiapa yang hidupnya pas-pasan, dia wajib
memberikan nafkah menurut kemampuannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: "Dan
orang yang terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa
yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah
kesempitan.” (Ath-Thalaq: 7)
Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban seseorang untuk memberikan nafkah, meskipun ia dalam keadaan serba kekurangan, tentunya hal ini disesuaikan dengan kadar rizki yang telah Allah berikan kepada dirinya.
Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban seseorang untuk memberikan nafkah, meskipun ia dalam keadaan serba kekurangan, tentunya hal ini disesuaikan dengan kadar rizki yang telah Allah berikan kepada dirinya.
Berdasarkan ayat ini pula, memberikan nafkah kepada isteri hukumnya adalah
wajib. Sehingga dalam mencari nafkah, seseorang tidak boleh bermalas-malasan
dan tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang lain serta tidak boleh
minta-minta kepada orang lain untuk memberikan nafkah kepada isteri dan
anaknya. Sebagai kepala rumah tangga, seorang suami harus memiliki usaha dan
bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai kemampuannya.
Perbuatan meminta-minta menurut Islam adalah perbuatan yang sangat hina dan tercela. Burung saja, yang diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla tidak sesempurna manusia yang dilengkapi dengan kemampuan berpikir dan tenaga yang jauh lebih besar, tidak pernah meminta-minta dalam mencari makan dan memenuhi kebutuhannya. Dia terbang pada pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, dan kembali ke sarangnya pada sore hari dengan perut yang telah kenyang. Demikianlah yang dilakukannya setiap hari, meski hanya berbekal dengan sayap dan paruhnya.
Perbuatan meminta-minta menurut Islam adalah perbuatan yang sangat hina dan tercela. Burung saja, yang diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla tidak sesempurna manusia yang dilengkapi dengan kemampuan berpikir dan tenaga yang jauh lebih besar, tidak pernah meminta-minta dalam mencari makan dan memenuhi kebutuhannya. Dia terbang pada pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, dan kembali ke sarangnya pada sore hari dengan perut yang telah kenyang. Demikianlah yang dilakukannya setiap hari, meski hanya berbekal dengan sayap dan paruhnya.
Dalam mencari rizki, seseorang hendaknya berikhtiar (usaha) terlebih
dahulu, kemudian bertawakkal (menggantungkan harapan) hanya kepada Allah,
sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Seandainya
kalian bertawakkal kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka sungguh kalian
akan diberikan rizki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan kepada burung. Pagi
hari burung itu keluar dalam keadaan kosong perutnya, kemudian pulang di sore
hari dalam keadaan kenyang.”
Seorang suami juga harus memperhatikan rizki-rizki yang halal dan thayyibah, untuk diberikan kepada isteri dan anaknya. Bukan dengan cara-cara yang tercela dan dilarang oleh syari’at Islam yang mulia. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima dari sesuatu yang haram. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para Rasul. "
Maka, Allah berfirman: ’Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.” (QS. Al-Mukminuun: 51)
Seorang suami juga harus memperhatikan rizki-rizki yang halal dan thayyibah, untuk diberikan kepada isteri dan anaknya. Bukan dengan cara-cara yang tercela dan dilarang oleh syari’at Islam yang mulia. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima dari sesuatu yang haram. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para Rasul. "
Maka, Allah berfirman: ’Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.” (QS. Al-Mukminuun: 51)
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang
Kami berikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 172)
Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang
lama bepergian; "Rambutnya kusut; berdebu, dan menengadahkan kedua
tangannya ke langit, ‘Yaa Rabb-ku, yaa Rabb-ku,’ padahal makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram,
bagaimana do’anya akan dikabulkan?”
Nafkah yang diberikan sang suami kepada isterinya, lebih besar nilainya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dibandingkan dengan harta yang diinfaqkan (meskipun) di jalan Allah ‘Azza wa Jalla atau diinfaqkan kepada orang miskin atau untuk memerdekakan seorang hamba. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Uang yang engkau infaqkan di jalan Allah, uang yang engkau infaqkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), uang yang engkau infaqkan untuk orang miskin, dan uang yang engkau infaqkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah uang yang engkau infaqkan kepada keluargamu.”
Setiap yang dinafkahkan oleh seorang suami kepada isterinya akan diberikan ganjaran oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yang engkau berikan ke mulut isterimu akan mendapat ganjaran.”
Nafkah yang diberikan sang suami kepada isterinya, lebih besar nilainya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dibandingkan dengan harta yang diinfaqkan (meskipun) di jalan Allah ‘Azza wa Jalla atau diinfaqkan kepada orang miskin atau untuk memerdekakan seorang hamba. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Uang yang engkau infaqkan di jalan Allah, uang yang engkau infaqkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), uang yang engkau infaqkan untuk orang miskin, dan uang yang engkau infaqkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah uang yang engkau infaqkan kepada keluargamu.”
Setiap yang dinafkahkan oleh seorang suami kepada isterinya akan diberikan ganjaran oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yang engkau berikan ke mulut isterimu akan mendapat ganjaran.”
Sedangkanm sebaliknya, seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada
isteri dan anak-anaknya, maka ia berdosa. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang
yang wajib ia beri makan (nafkah).”
2. ENGKAU
MEMBERINYA PAKAIAN APABILA ENGKAU BERPAKAIAN
Seorang suami haruslah memberikan pakaian kepada isterinya sebagaimana ia berpakaian. Apabila ia menutup aurat, maka isterinya pun harus menutup aurat. Hal ini menunjukkan kewajiban setiap suami maupun isteri untuk menutup aurat. Bagi laki-laki batas auratnya adalah dari pusar hingga ke lutut (termasuk paha). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Paha itu aurat.”
Seorang suami haruslah memberikan pakaian kepada isterinya sebagaimana ia berpakaian. Apabila ia menutup aurat, maka isterinya pun harus menutup aurat. Hal ini menunjukkan kewajiban setiap suami maupun isteri untuk menutup aurat. Bagi laki-laki batas auratnya adalah dari pusar hingga ke lutut (termasuk paha). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Paha itu aurat.”
Sedangkan bagi wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak
tangannya. Termasuk aurat bagi wanita adalah rambut dan betisnya. Jika auratnya
sampai terlihat oleh selain mahramnya, maka ia telah berbuat dosa, termasuk
dosa bagi suaminya karena telah melalaikan kewajiban ini. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua golongan penghuni Neraka,
yang belum pernah aku lihat keduanya, yaitu suatu kaum yang memegang cemeti
seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian
tetapi telanjang, ia berjalan berlenggak-lenggok dan kepalanya dicondongkan
seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan
mencium aroma Surga, padahal sesungguhnya aroma Surga itu tercium sejauh
perjalanan begini dan begini.”
Beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam berpakaian (busana) muslimah yang sesuai dengan syari’at Islam, adalah:
Beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam berpakaian (busana) muslimah yang sesuai dengan syari’at Islam, adalah:
• Menutupi Seluruh Tubuh, Kecuali Wajah Dan Kedua Telapak Tangan.
Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka
menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka
lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab: 59)
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma’ binti Abi Bakar:
“Wahai Asma', sesungguhnya apabila seorang wanita telah haidh (sudah baligh), maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini.” Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ke wajah dan kedua telapak tangan beliau.
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma’ binti Abi Bakar:
“Wahai Asma', sesungguhnya apabila seorang wanita telah haidh (sudah baligh), maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini.” Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ke wajah dan kedua telapak tangan beliau.
• Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali yang biasa terlihat.” (QS. An-Nuur: 31)
Juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Ada tiga
golongan, jangan engkau tanya tentang mereka (karena mereka termasuk
orang-orang yang binasa): dan seorang wanita yang ditinggal pergi suaminya,
padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia
ber-tabarruj.”
• Kainnya Harus Tebal, Tidak Boleh Tipis (Transparan).
Seorang wanita dilarang memakai pakaian yang ketat atau tipis sehingga
memperlihatkan bentuk tubuhnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Pada akhir ummatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian
namun (hakikatnya) mereka telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat
punuk unta. Laknatlah mereka karena sebenarnya mereka itu wanita yang
terlaknat.”
• Harus Longgar Dan Tidak Ketat.
Usamah bin Zaid berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memberiku baju Qubthiyah yang tebal (biasanya baju tersebut tipis-pen) yang
merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah al-Kalbi kepada beliau. Baju itu
pun aku pakaikan kepada isteriku. Nabi bertanya, ‘Mengapa engkau tidak
mengenakan baju Qubthiyah?’ Aku menjawab, ‘Aku pakaikan baju itu pada
isteriku.’ Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Perintahkan ia
agar mengenakan baju dalam, karena aku khawatir baju itu masih bisa menggambarkan
bentuk tubuhnya.”
• Tidak Memakai Wangi-Wangian (Parfum).
Larangan mempergunakan parfum bagi wanita ini begitu keras, bahkan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya meskipun untuk pergi ke
masjid. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa pun wanita
yang memakai wangi-wangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar tercium
baunya, maka ia (seperti) pelacur.”
Sedangkan jika isteri menggunakannya di hadapan suaminya, di dalam rumahnya, maka hal ini dibolehkan - bahkan - dianjurkan berhias untuk suaminya.
Sedangkan jika isteri menggunakannya di hadapan suaminya, di dalam rumahnya, maka hal ini dibolehkan - bahkan - dianjurkan berhias untuk suaminya.
• Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki.
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita
yang memakai pakaian laki-laki.”
• Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir.
• Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir.
Sebab dalam syari’at Islam telah ditetapkan bahwa kaum muslimin -muslim dan
muslimah- tidak boleh bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, baik dalam
ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakaian dengan pakaian khas mereka.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menyerupai
suatu kaum, ia termasuk golongan mereka.”
• Bukan Pakaian Syuhrah (Pakaian Untuk Mencari Popularitas)
• Bukan Pakaian Syuhrah (Pakaian Untuk Mencari Popularitas)
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah
mengenakan pakaian kehinaan kepadanya di hari Kiamat lalu membakarnya dengan
api Neraka.”
Pakaian syuhrah adalah pakaian yang dipakai untuk meraih popularitas di
tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai oleh
seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang
bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudan dan
bertujuan untuk riya’.
• Diutamakan Berwarna Gelap (Hitam, Coklat, dll).
Mengenai dianjurkannya pakaian berwarna gelap bagi muslimah adalah
berdasarkan contoh dari para Shahabiyah radhiyallaahu ‘anhunna. Mereka
mengenakan pakaian berwarna gelap agar lebih bisa menghindarkan fitnah dari
pakaian yang mereka kenakan. Sangat sempurna apabila jilbab yang dikenakan
seorang wanita berkain tebal dan berwarna gelap.
Di antara hadits yang menyebutkan bahwa pakaian wanita pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwarna gelap adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Tatkala ayat ini turun, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya,’ maka wanita-wanita Anshar keluar rumah dalam keadaan seolah-olah di kepala mereka terdapat burung gagak karena pakaian (jilbab hitam) yang mereka kenakan.”
Di antara hadits yang menyebutkan bahwa pakaian wanita pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwarna gelap adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Tatkala ayat ini turun, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya,’ maka wanita-wanita Anshar keluar rumah dalam keadaan seolah-olah di kepala mereka terdapat burung gagak karena pakaian (jilbab hitam) yang mereka kenakan.”
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Lafazh ‘ghirban’ adalah bentuk
jamak dari ‘ghurab’ (burung gagak). Pakaian (jilbab) mereka diserupakan dengan
burung gagak karena warnanya yang hitam.”
Beliau juga mengatakan, “Hadits ini dibawakan juga dalam kitab ad-Durr
(V/221) berdasarkan riwayat ‘Abdurrazzaq, ‘Abdullah bin Humaid, Abu Dawud,
Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih, dari hadits Ummu Salamah
dengan lafazh. “Lantaran pakaian (jilbab) hitam yang mereka kenakan.”
• Dilarang Memakai Pakaian Yang Terdapat Gambar Makhluk Yang Bernyawa.
Larangan Ini Berlaku Untuk Laki-Laki Dan Perempuan. Jika seorang suami malu dan risih dengan pakaian yang tidak menutup aurat -
dengan celana pendek misalnya - untuk pergi ke kantor, maka hendaknya dia juga
merasa risih ketika mengetahui bahwa isterinya pergi ke pasar, ke tempat umum
atau keluar rumah dengan aurat terbuka. Sehingga orang-orang yang jahil dan
berakhlak buruk turut melihat keindahan tubuh isteri yang dicintainya.
Seorang suami hendaknya memiliki rasa cemburu dalam masalah ini, karena kalau tidak, niscaya dia akan menjadi dayyuts (membiarkan kejelekan yang timbul dalam rumah tangganya), dan ini akan menjadi awal malapetaka yang dapat menghancurleburkan kehidupan rumah tangga yang telah dibangun dan dibinanya dengan susah payah.
Seorang suami hendaknya menasihati isterinya dalam masalah pakaian ini sehingga isterinya tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan syari’at dan menyempurnakannya dengan pakaian terbaik menurut syari’at Islam. Hal ini supaya ia tidak terjebak pada istilah-istilah busana muslim yang modis dan trendi, yang justru pada hakikatnya merupakan busana yang terlaknat seperti hal-hal tersebut di atas.
Seorang suami hendaknya memiliki rasa cemburu dalam masalah ini, karena kalau tidak, niscaya dia akan menjadi dayyuts (membiarkan kejelekan yang timbul dalam rumah tangganya), dan ini akan menjadi awal malapetaka yang dapat menghancurleburkan kehidupan rumah tangga yang telah dibangun dan dibinanya dengan susah payah.
Seorang suami hendaknya menasihati isterinya dalam masalah pakaian ini sehingga isterinya tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan syari’at dan menyempurnakannya dengan pakaian terbaik menurut syari’at Islam. Hal ini supaya ia tidak terjebak pada istilah-istilah busana muslim yang modis dan trendi, yang justru pada hakikatnya merupakan busana yang terlaknat seperti hal-hal tersebut di atas.
3.
JANGAN ENGKAU MEMUKUL WAJAHNYA
Di antara hak yang harus dipenuhi seorang suami kepada isterinya ialah
tidak memukul wajah isterinya, meski terjadi perselisihan yang sangat dahsyat,
misalnya karena si isteri telah berbuat durhaka kepada suaminya. Memukul wajah
sang isteri adalah haram hukumnya. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Laki-laki
(suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suami-nya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz , hendaklah kamu beri
nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang),
dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah
Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisaa': 34)
Dalam ayat ini, Allah membolehkan seorang suami memukul isterinya. Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang bolehnya memukul adalah harus terpenuhinya kaidah-kaidah sebagai berikut:
Dalam ayat ini, Allah membolehkan seorang suami memukul isterinya. Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang bolehnya memukul adalah harus terpenuhinya kaidah-kaidah sebagai berikut:
- Setelah dinasihati, dipisahkan tempat tidurnya, namun tetap tidak mau kembali kepada syari’at Islam.
- Tidak diperbolehkan memukul wajahnya.
- Tidak boleh memukul dengan pukulan yang menimbulkan bekas atau membahayakan isterinya.
Pukulannya pun pukulan yang tidak melukai, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai.”
Pada zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada sebagian Shahabat yang memukul isterinya, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Namun ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu mengadukan atas bertambah beraninya wanita-wanita yang nusyuz (durhaka kepada suaminya), sehingga Rasul memberikan rukhshah untuk memukul mereka. Para wanita berkumpul dan mengeluh dengan hal ini, kemudian Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya mereka itu (yang suka memukul isterinya) bukan orang yang baik di antara kamu.”
Dari ‘Abdullah bin Jam’ah bahwasanya ia telah mendengar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana mungkin seseorang di antara kalian
sengaja mencambuk isterinya sebagaimana ia mencambuk budaknya, lalu ia
menyetubuhinya di sore harinya?”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang laki-laki yang baik, yaitu yang baik kepada isteri-isterinya. Beliau bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya dan aku adalah yang paling baik kepada isteriku” dan “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang laki-laki yang baik, yaitu yang baik kepada isteri-isterinya. Beliau bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya dan aku adalah yang paling baik kepada isteriku” dan “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya.”
4.
JANGANLAH SEKALI-KALI ENGKAU MENJELEKKAN ISTERI
Contoh ucapan yang dimaksud adalah “Semoga Allah menjelekkanmu” atau
“Kamu dari keturunan yang jelek” atau kata-kata lainnya yang menyakitkan
hati sang isteri.
Seorang suami telah memilih isterinya sebagai pendamping hidupnya, maka kewajiban dia untuk mendidik isterinya dengan baik. Setiap manusia tidak ada yang sempurna, sehingga adanya kekurangan dalam kehidupan berumah tangga merupakan sesuatu yang wajar saja terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang suami telah memilih isterinya sebagai pendamping hidupnya, maka kewajiban dia untuk mendidik isterinya dengan baik. Setiap manusia tidak ada yang sempurna, sehingga adanya kekurangan dalam kehidupan berumah tangga merupakan sesuatu yang wajar saja terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Terkadang isteri memiliki kekurangan dalam satu sisi, dan suami pun
memiliki kekurangan dari sisi yang lain. Tidak selayaknya melimpahkan tumpuan
kesalahan tersebut seluruhnya kepada sang isteri. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh seorang mukmin menjelekkan seorang
mukminah. Jika ia membenci satu akhlak darinya maka ia ridha darinya (dari
sisi) yang lain.”
Seorang suami, sebagai kepala rumah tangga berkewajiban untuk membimbing
dan mendidiknya dengan sabar sehingga dapat menjadi isteri yang shalihah dan
dapat melayani suaminya dengan penuh keridhaan.
Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk memanjatkan do’a kepada Allah ‘Azza
wa Jalla atas kebaikan tabiat isterinya dengan memegang ubun-ubunnya seusai
‘aqad nikah sambil membaca: “Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan
tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan
tabiat yang dibawanya.”
Apabila isteri Anda salah, keliru atau melawan Anda, maka nasihatilah
dengan cara yang baik, tidak boleh menjelek-jelekkannya, dan do’akanlah agar
Allah memperbaikinya dan menjadikannya isteri yang shalihah.
5.
TIDAK BOLEH ENGKAU MEMISAHKANNYA, KECUALI DI DALAM
RUMAH
Jika seorang suami dalam keadaan marah kepada isterinya atau terjadi
ketidakharmonisan di antara keduanya, maka seorang suami tidak berhak untuk
mengusir sang isteri dari rumahnya. Islam menganjurkan untuk meninggalkan
mereka di dalam rumah, di tempat tidurnya dengan tujuan untuk mendidiknya. Sang
suami harus tetap bergaul dengan baik terhadap isterinya, seperti yang
termaktub di dalam kitab suci Al-Qur-an yang mulia, Allah Ta’ala berfirman: “Dan
janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar
kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.” (QS. Ath-Thalaq: 1)
Juga firman-Nya: “Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada-nya.”
[An-Nisaa' : 19]
Pernikahan adalah ikatan yang kokoh “miitsaqon gholiidhoo”, tidak
selayaknya hanya karena masalah yang kecil dan sepele kemudian tercerai-berai.
Bahkan dalam masalah-masalah yang sangat besar pun, kita diperintahkan untuk
bersabar menghadapinya, serta saling menasihati.
Akan menjadi sangat sulit bagi orang tua (suami dan isteri) untuk
membimbing dan mendidik keturunannya agar menjadi anak yang shalih, manakala
sang suami berpisah dengan isterinya. Sedangkan anak yang shalih merupakan
salah satu aset yang sangat berharga, baik untuk kehidupan kedua orang tuanya
di dunia terlebih di akhirat kelak.
Bahkan kata-kata yang mengandung perceraian (thalaq) harus dijauhkan dengan
sejauh-jauhnya meskipun sang suami dalam keadaan marah yang sangat, baik
diutarakan dengan sungguh-sungguh maupun sekedar berkelakar. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kalimat thalaq ini: “Tiga
hal yang apabila diucapkan akan sungguh-sungguh terjadi, main-mainnya (pun)
terjadi, yaitu nikah, thalaq, dan ruju’.”
Seseorang ketika dalam keadaan marah, cenderung untuk mengeluarkan
kata-kata yang kotor, perkataan yang jelek, dusta, mencaci maki,
mengungkit-ungkit kejelekan lawan bicara, menyanjung-nyanjung dirinya dan
mengeluarkan kalimat yang mengandung kekufuran atau yang lainnya. Untuk itulah,
ketika kita dalam keadaan marah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kita untuk mengucapkan perkataan yang baik, atau kalau tidak
mampu maka dianjurkan untuk diam, beliau bersabda: “Apabila seseorang dari
kalian marah, hendaklah ia diam.”
6.
MENGAJARKAN ILMU AGAMA
Di antara hak seorang isteri yang harus dipenuhi suaminya adalah memberikan
pendidikan dan pengajaran dalam perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan
agamanya, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman!
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak
durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)
Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar
taat, bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta
menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan
tentang adab-adabnya. Para Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir
ayat tersebut sebagai berikut:
1.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata,
“Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”
2.
Qatadah rahimahullaah berkata, “Suruh keluarga kalian
untuk taat kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiyat! Hendaknya mereka
melaksanakan perintah Allah dan bantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka
berbuat maksiyat, maka cegah dan laranglah mereka!”
3.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullaah berkata: “Ajarkan
keluarga kalian untuk taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang (hal itu) dapat
menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”
4.
Imam asy-Syaukani mengutip perkataan Ibnu Jarir:
“Wajib atas kita untuk mengajarkan anak-anak kita Dienul Islam (agama Islam),
serta mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam.”
Untuk itulah, kewajiban seorang suami untuk membekali dirinya dengan
thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu
yang mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush
Shalih -generasi yang terbaik, yang mendapat jaminan dari Allah-, sehingga
dengan bekal tersebut dia mampu mengajarkannya kepada isteri dan keluarganya.
Jika ia tidak sanggup untuk mengajarkannya, hendaklah seorang suami
mengajak isteri dan anaknya untuk bersama-sama hadir di dalam majelis ilmu yang
mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemahaman
Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan hadirnya suami-isteri di majelis ilmu akan
menjadikan mereka sekeluarga dapat memahami Islam dengan benar, beribadah
dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla semata serta senantiasa
meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Insya Allah, hal ini akan
memberikan manfaat dan berkah yang sangat banyak karena suami maupun isteri
saling memahami hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Dalam kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, banyak suami yang melalaikan diri dan keluarganya. Berdalih mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dia mengabaikan kewajiban yang lainnya. Seolah-olah dia merasa bahwa kewajibannya cukup hanya dengan memberikan nafkah berupa harta, kemudian nafkah batinnya, sedangkan pendidikan agama yang merupakan hal paling pokok justru tidak pernah dipedulikan.
Seringkali sang suami jarang berkumpul dengan keluarganya untuk menunaikan
ibadah bersama-sama. Sang suami pergi ke kantor pada pagi hari ba’da Shubuh dan
kembali ke rumahnya larut malam. Pola hidup seperti ini adalah pola hidup yang
tidak baik. Tidak pernah atau jarang sekali ia membaca Al-Qur’an, kurang sekali
memperhatikan isteri dan anaknya shalat, dan tidak memperhatikan pendidikan
agama mereka sehari-hari. Bahkan pendidikan anaknya dia percayakan sepenuhnya
kepada pendidikan di sekolah, dan bangga dengan sekolah-sekolah yang memungut
biaya sangat mahal karena alasan harga diri. Ia merasa bahwa tugasnya sebagai
orang tua telah ia tunaikan seluruhnya.
Lantas, bagaimana kita dapat mewujudkan anak yang shalih, sedangkan kita
tahu bahwa salah satu kewajiban yang mulia seorang kepala rumah tangga adalah
mendidik keluarganya. Sementara tidak bisa kita pungkiri juga bahwa pengaruh
negatif dari lingkungan yang cukup kuat berupa media cetak dan elektronik
seperti koran, majalah, tabloid, televisi, radio, VCD, serta peralatan hiburan
lainnya sangat mudah mencemari pikiran dan perilaku sang anak. Bahkan media ini
bisa menjadi orang tua ketiga, maka kita harus mewaspadai media-media yang ada
dan alat-alat permainan yang sangat berpengaruh buruk terhadap perilaku
anak-anak kita.
Oleh karena itu, kewajiban seorang suami harus memperhatikan pendidikan
isteri dan anaknya, baik tentang Tauhid, shalat, bacaan Al-Qur’annya,
pakaiannya, pergaulannya, serta bentuk-bentuk ibadah dan akhlak yang lainnya.
Karena Islam telah mengajarkan semua sisi kehidupan, kewajiban kita untuk
mempelajari dan mengamalkannya sesuai Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Begitu pula kewajiban seorang isteri adalah membantu suaminya mendidik
anak-anak di rumah dengan baik. Seorang isteri diperintahkan untuk tetap
tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak, serta menjauhkan diri dan
keluarga dari hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam.
7.
MENASIHATI ISTERI DENGAN CARA YANG BAIK
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan agar berbuat
baik kepada kaum wanita, berlaku lemah lembut dan sabar atas segala
kekurangannya, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya.
Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan. Sebab, mereka diciptakan dari
tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika
engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya,
ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat-lah kepada wanita dengan
kebaikan.”
8. MENGIZINKANNYA
KELUAR UNTUK KEBUTUHAN YANG MENDESAK
Di antara hak isteri adalah suami mengizinkannya keluar untuk suatu kebutuhan yang mendesak, seperti pergi ke warung, pasar dan lainnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) keluar (rumah) untuk keperluan (hajat) kalian.”
Tetapi, keluarnya mereka harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
Di antara hak isteri adalah suami mengizinkannya keluar untuk suatu kebutuhan yang mendesak, seperti pergi ke warung, pasar dan lainnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) keluar (rumah) untuk keperluan (hajat) kalian.”
Tetapi, keluarnya mereka harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1.
Memakai hijab syar’i yang dapat menutupi seluruh
tubuh.
2.
Tidak ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.
3.
Tidak memakai wangi-wangian (parfum).
Seorang suami pun dibolehkan untuk mengizinkan isterinya menghadiri shalat
berjama’ah di masjid apabila ketiga syarat di atas terpenuhi. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apabila isteri salah seorang
dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah ia menghalanginya.”
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah mendatangi masjid-masjid
Allah.”
9.
SUAMI HARUS DAPAT BERLAKU ADIL TERHADAP ISTERINYA,
Terutama jika ia mempunyai istri lebih dari satu, maka suami harus dapat
berlaku adil kepada masing-masing isterinya, yakni berbuat adil dalam hal
makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan dalam hal tidur seranjang. Ia tidak boleh
sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena sesungguhnya Allah melarang yang
demikian. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya,
maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah.”
Catatan: Pada dasarnya poligami (ta’addud) dibolehkan dalam Islam apabila seorang
pria dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. (Insya Allah, dalam
kesempatan lain hal ini akan diulas sedikit dengan memperhatikan Kedudukan
Wanita Dalam Islam).
10. JIKA SEORANG
SUAMI PULANG DARI SAFAR, HENDAKLAH TERLEBIH DAHULU IA MENUJU MASJID UNTUK
MENGERJAKAN SHALAT DUA RAKA'AT, LALU PULANG KE RUMAHNYA UNTUK BERCAMPUR DENGAN
ISTERINYA
Hal ini adalah Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana yang diceritakan oleh Ka’ab bin Malik radhiyallaahu ‘anhu
ketika ia tidak ikut perang Tabuk dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari (no. 3088) dan Muslim (no. 716 (74)).
Kemudian hendaklah suami mengutus seseorang untuk memberi kabar
kedatangannya agar mereka dapat bersiap-siap menyambut kedatangannya. Atau
dapat menggunakan telepon atau HP pada zaman sekarang ini.
Dan di malam itu hendaklah ia tidak langsung tidur sebelum memenuhi hajat
biologis isterinya, jika ia mampu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam: “Jangan tergesa-gesa hingga engkau dapat datang pada
waktu malam -yaitu ‘Isya'- agar ia (isterimu) sempat menyisir rambut yang kusut
dan mencukur bulu kemaluannya. Selanjutnya, hendaklah engkau menggaulinya”
Demikianlah sejumlah hak para isteri yang harus ditunaikan oleh para
suami. Sesungguhnya memenuhi hak-hak isteri merupakan salah satu keselamatan
keluarga, serta sebagai sebab menjauhnya segala permasalahan yang dapat
mengusik dan menghubungkan rasa aman, tenteram, damai, serta rasa cinta dan
kasih sayang.
11. WASPADALAH
TERHADAP FITNAH WANITA!
Kecintaan suami terhadap isterinya dan kecintaan isteri terhadap suaminya tidak
boleh menjadikan keduanya mengharamkan apa yang telah Allah halalkan
dan menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, atau melakukan dosa-dosa
dan maksiat lain karena ingin mendapat keridhaan dari pasangannya
masing-masing.
Allah Ta’ala pernah menegur Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Dia berfirman: “Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. At-Tahrim: 1-2)
Di dalam ash-Shahiihain dari hadits ‘Aisyah radhiyal-laahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah minum madu di tempat Zainab binti Jahsyi dan tinggal bersamanya. Aku dan Hafshah bersepakat untuk mengatakan kepada beliau apabila beliau menemui salah seorang dari kami, ‘Apakah engkau telah memakan maghafir? Sungguh aku mendapati darimu aroma maghafir.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, tetapi tadi aku minum madu di rumah Zainab binti Jahsyi dan aku tidak akan mengulanginya dan aku bersumpah. Jangan engkau beberkan hal ini kepada seorang pun.’ Maka turunlah ayat ini." [At-Tahrim: 1-2]
Di sini Allah telah memperingatkan kaum laki-laki agar tidak terfitnah oleh wanita, begitu juga kaum wanita agar tidak terfitnah oleh laki-laki. Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (QS. At-Taghaabuun: 14-15)
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali ‘Imran: 14)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” Dan beliau juga bersabda: “Sesungguhnya dunia ini manis dan indah. Dan sesungguhnya Allah menguasakan kepada kalian untuk mengelola apa yang ada di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap dunia dan wanita, karena fitnah yang pertama kali terjadi pada bani Israil adalah karena wanita.”
Hendaklah seorang muslim benar-benar waspada terhadap
fitnah ini, karena di antara manusia ada yang terseret oleh kecintaannya yang
berlebihan terhadap isterinya sehingga ia berbuat durhaka kepada orang tua,
memutuskan silaturahmi dan berbuat kerusakan di bumi, sehingga laknat Allah
akan menimpanya. Allah Ta’ala berfirman: “Maka apakah sekiranya kamu
berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah; lalu dibuat
tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya).” (QS. Muhammad: 22-23)
Di antara manusia ada yang diseret oleh kecintaannya kepada isteri sehingga mencari harta haram guna memenuhi kecintaannya dan memuaskan syahwatnya. Di antara mereka pun ada yang saling membunuh sesama tetangganya sendiri disebabkan oleh ulah isterinya. Maka, hendaklah berhati-hati terhadap fitnah wanita.
Hak Istri..
Dari Mu’awiyah al-Qusyairi, ia berkata: “Saya
bertanya, wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri dari kami suaminya?
Sabdanya: Engkau memberi makan kepadanya apa yang engkau makan. Engkau
memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul
mukanya. Janganlah engkau menjelekkannya, kecuali masih dalam satu rumah. (HR.
Abu Dawud)
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 233)
“Berbuat baiklah terhadap istri kalian, karena
wanita tercipta dari tulang rusuk. Sesungguhnya bagian terbengkok dari tulang
rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau hendak meluruskannya, maka akan
mematahkannya, dan jika engkau biarkan, maka ia tetap bengkok. Untuk itulah,
berbuat-baiklah kalian kepada istri-istri.” (HR. Muttafaq’Alaih)
Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka; dan jika mereka (istri-istri yang sudah
ditalak) itu perempuan-perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya sampai mereka bersalin. (QS. Ath-Thalaq: 6)
Dikatakan kepada Aisyah, “Apa yang dilakukan oleh
Rasulullah di dalam rumah?” Dia menjawab, “Beliau membantu pekerjaan istrinya,
dan ketika mendengar adzan, beliau langsung keluar.” (HR. Al-Bukhari)
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di
tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika
mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.
Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisaa’:34)
….hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah di dalam
urusan perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan
kalimat Allah. Kamu telah menghalalkan kemaluan (kehormatan) mereka dengan
kalimat Allah. Wajib bagi mereka (istri-istri) untuk tidak memasukkan ke dalam
rumahmu orang yang tidak kamu sukai. jika mereka melanggar yang tersebut
pukullah mereka, tetapi jangan sampai melukai. Mereka berhak mendapatkan
belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim)
Hak Suami..
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw., siapakah
orang yang paling besar haknya terhadap perempuan?.” Jawabnya: “Suaminya.” Lalu
saya bertanya: “Siapakah haknya yang paling besar terhadap laki-laki?.”
Jawabnya: “ibunya” (HR. Hakim)
“Jika aku boleh menyuruh manusia bersujud kepada
manusia, tentu aku akan menyuruh perempuan bersujud kepada suaminya.” (HR.
At-Tirmidzi, Ahmad)
“Tidak patut manusia bersujud kepada manusia,
andai manusia boleh bersujud kepada manusia, maka aku perintahkan kepada wanita
bersujud di depan suaminya, mengingat besarnya hak suami atas istri. Demi dzat
yang jiwa ragaku berada dalam genggaman tangan-Nya, andaikata sekujur tubuh
suami, dari kepala sampai kaki penuh dengan luka yang berdarah dan bernanah,
lalu sang istri menjilatinya, dia belum dapat melunasi haknya.” (HR. Ahmad)
“Hak suami terhadap isterinya adalah tidak
menghalangi permintaan suaminya kepadanya sekalipun sedang di atas punggung
onta, tidak berpuasa walaupun sehari dengan ijinnya, kecuali puasa wajib. Jika
ia tetap berbuat demikian, ia berdosa dan tidak diterima puasanya. Ia tidak
boleh memberi sesuatu dari rumahnya kecuali dengan ijinnya (suaminya). Jika ia
memberi maka pahalanya bagi suaminya, dan dosanya untuk dirinya sendiri. Ia tak
keluar rumahnya kecuali dengan ijin suaminya. Jika ia berbuat demikian maka
Allah akan melaknatnya dan para Malaikat memarahinya sampai tobat dan pulang kembali
sekalipun suaminya itu zhalim.” (HR. Abu Dawud)
“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa
sementara suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya, dan istri tidak
boleh mempersilahkan seseorang masuk rumah kecuali dengan persetujuan suami.” (HR.
Muttafaq’Alaih)
“Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah pernah
bertanya: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Ia
tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil
daripadanya tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda: “Ambillah apa
yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari,
Muslim)
0 komentar:
Posting Komentar